Bismillaahirrahmaanirraahiim…
Purnama nyaris
sempurna, sinarnya benderang bak pelita di pekat malam. Sayup-sayup simfoni
malam mulai meredup tak terdengar. Sunyi mengantarkan saya pada sebuah renungan
tentang hakikat sebuah kebahagiaan ditengah keterbatasan.
Allah tak pernah pilih
kasih terhadap hambaNYA. Semua hal yang Ia ciptakan telah diatur dengan desain paling
sempurna, melalui ketelitian yang sedimikian rupa, melewati proses panjang yang
sarat hikmah. Siang & malam Ia sibuk mengurusi hambaNYA tanpa kenal lelah. Hingga terciptalah kita, makhluk dengan sebaik-baik bentuk. Meski secara kasat
mata, dalam pandangan manusia yang serba tak sempurna, nampaklah beberapa sosok
dengan kondisi lahiriah yang terbatas.
Beberapa minggu
terakhir, berkali-kali Allah pertemukan saya dengan seorang tunanetra. Di
angkot, di perjalanan menuju kampus, di majlis ilmu, dan di tempat kerja. Setiap kali bertemu mereka, yang pertama kali
terbersit adalah rasa iba. Sempitnya saya merasa, betapa tidak nyamannya menyaksikan
kehidupan alam yang memiliki berjuta pesona ini hanya dalam satu warna serta
kondisi, hitam & gelap. Betapa
menyusahkannya ketika pergi kemana-mana harus membawa tongkat yang menjadi
penuntun jalan. Betapa sedihnya saat ia tak mampu melihat lekuk wajah
orang-orang yang dicintai & disayanginya. Ah, sayangnya ketika rasa iba menguasai diri yang
terpikirkan justru hanya satu titik saja, kelemahan. Nyatanya, siapa bilang
mereka tak pernah bahagia?
***
Setahun lalu ketika saya
masih tinggal di asrama, ada sosok luar biasa yang begitu berjasa dalam menyemangati
& membentuk diri saya untuk konsisten berdekatan dengan Al-Qur’an. Beliau dan
keluarganya tinggal persis disamping asrama santri. Karena akses kami dengan
beliau cukup mudah, tak jarang setiap kali ada masalah atau keperluan yang
berhubungan dengan asrama kami konsultasikan kepada beliau. Pun ketika ada
beberapa santri yang mengalami kesulitan dalam belajar ,muraja’ah, dan menghafal
Qur’an, kami tak segan untuk berbagi dan meminta solusi dari beliau. Sosok
sederhana nan penuh semangat ini tak
lain adalah ustadz pembimbing tahfidz saya. Beliau hanya memiliki kemampuan
melihat kurang lebih 50%. Kadang ketika berpapasan dengan para santri, ustadz
seringkali keliru memanggil nama kami karena penglihatannya yang tidak jelas.

Banyak contoh yang telah
memberikan ibrah mendalam dalam diri saya dari seorang tunanetra. Ada Kang
Hanan, siswa Aliyah yang buta sejak lahir namun telah beberapa kali menjuarai
lomba pidato di pesantren, sekolah, hingga tingkat kabupaten. Ada juga LSM Ummi
Maktum Voice, yang menginspirasi orang-orang agar bersegera menginfakkan sebagian rezekinya
untuk menyebarkan Al-Qur’an Braille bagi para tunanetra. Dan masih banyak lagi
sosok inspirasi dari kalangan mereka yang menyadarkan saya untuk tidak memandang sebelah mata atas kekurangannya.
***
BASHIRAH, kekuatan mata
hati, adalah salah satu hadiah yang Allah berikan kepada orang-orang seperti mereka.
Kondisi penglihatan yang terbatas mampu membuat mereka lebih peka menyikapi apa
yang mereka dengar, lihat, raba dan rasakan. Ia adalah cahaya hati yang benderang,
menuntun pemiliknya untuk berjalan sesuai hati nuraninya. Allah Maha Adil, mengangkat
sebagian orang dengan kekurangan fisiknya dan menjatuhkan lainnya walaupun
berjasad sempurna. Lihatlah bagaimana cara Allah mencukupi rezeki
ditengah gelapnya pandangan seorang tunanetra. Bagaimana Allah meninggikan
derajat seorang yang terbatas penglihatannya dengan sesuatu yang sangat mulia,
Al-Qur’an.
Kekuatan mata hati menjadi pelitanya. Allah telah menggantikan kebutaan matanya sebagai cahaya dalam pandangan dan pancaran di hati. Sehingga ia dapat melihat dengan mata hati, apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Mereka bahagia hingga tak lagi merasai kekurangan itu.
Kekuatan mata hati menjadi pelitanya. Allah telah menggantikan kebutaan matanya sebagai cahaya dalam pandangan dan pancaran di hati. Sehingga ia dapat melihat dengan mata hati, apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Mereka bahagia hingga tak lagi merasai kekurangan itu.
Lalu bagaimana dengan kita
yang telah Allah sempurnakan lahiriahnya? Semoga tak pernah lupa mengurai syukur…karena disanalah sebenarnya kunci setiap kebahagiaan.